Sementara Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini menyatakan bahwa tidak akan mempermasalahkan anggaran operasional dari lembaga yang dipimpinnya. “Anggaran operasional SKK Migas sebesar Rp 1,6 triliun mau lewat APBN ataupun lewat mana silakan saja. Karena yang membuat aturan tersebut kan Kementerian Keuangan. Jadinya buat kami itu terserah saja yang penting berupa uang bukan kertas atau pun daun,” tukas Rudi di Jakarta, Rabu (12/6).
Namun, Rudi mengakui bahwa kecurigaan BPK terhadap SKK Migas mengenai anggaran patut diapresiasi. Pasalnya, tugas BPK harus curiga karena kalau tidak curiga maka itu yang bermasalah. Menurut dia, anggaran yang telahdigunakan oleh SKK Migas merupakan turunan aturan dari BP Migas yang dibiayai dari pendapatan migas sebesar 2%. “Namun, saat ini SKK Migas hanya menggunakan 0,4-0,6% dari pendapatan sektor migas. Kalau disebut pemborosan, mana yang boros. Disuruh menggunakan 1%, tapi kami menggunakan hanya 0,4-0,6%,” tandas dia.
.jpg)
Menanggapi polemik tersebut, pengamat perminyakan Kurtubi mengatakan, sejak awal keberadaan SKK Migas tidak ada bedanya dengan BP Migas sehingga apa pun yang dilakukan SKK Migas pastinya telah melanggar UU Konstitusi. “Ada 17 pasal yang dicabut Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai BP Migas termasuk mengenai anggaran. Jadi, anggaran yang diterima SKK Migas dari pendapatan hulu migas adalah melanggar UU, baik UU Keuangan Negara maupun UU Konstitusi” tegas Kurtubi kepada Neraca, Rabu.
Bahkan, Kurtubi menilai bahwa kinerja SKK Migas tidak begitu berarti dalam perkembangan industri migas. Hal tersebut dapat dilihat dari lifting yang selalu tidak mencapai target dan cost recovery yang naik. “SKK Migas tidak berhasil memaksa KKKS untuk memproduksi migas melebihi dari target lifting. Artinya tidak ada gunanya keberadaan SKK Migas,” kata dia.
Kurtubi menduga telah terjadi kebohongan publik terkait dengan sosialiasasi UU migas yang dilakukan BP Migas sebelum menjadi SKK Migas. “Pada November 2012, dicurigai memasang iklan yang berisi kebohongan publik terkait dengan UU Migas. Padahal UU tersebut telah dicabut oleh MK,” ungkap Kurtubi.
Untuk itu, Kurtubi meminta kepada BPK untuk mengaudit keuangan dari SKK Migas. “SKK Migas itu tidak punya komisaris hingga pertanggungjawaban keuangannya tidak jelas. Artinya, peran BPK harus mengaudit keuangan dari SKK Migas agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan negara,” tegas dia.
Hal senada dipaparkan pakar hukum tata negara, Margarito Kamis. Menurut dia, apa yang disampaikan Ketua BPK itu merupakan hal yang benar di dalam mata hukum tata negara. Seharusnya anggaran SKK Migas berasal dari APBN, dimana APBN mengatur tentang anggaran kementerian atau kelembagaan. “SKK Migas sebagai instansi pemerintah harus menuruti aturan hukum yang berlaku di negara ini. Semua lembaga pemerintah dibiayai oleh APBN,” kata dia kepada Neraca, Rabu.
Margarito menuturkan, anggaran yang terjadi di SKK Migas memang menyalahi UU Keuangan Negara Pasal 3 ayat 5. Pembiayaan maupun pendanaan lembaga pemerintah harus melalui mekanisme yang diatur negara dan aturan pengganggaran ini terdapat di APBN. “Penggunaan langsung pendapatan negara untuk membiayai kegiatan atau lembaga pemerintah tanpa melalui mekanisme APBN, bertentangan dengan UU Keuangan Negara pasal 3 ayat 5,” tandasnya.
Menurut Margarito, berdasarkan hukum tata negara, tidak boleh ada satu pun lembaga pemerintah yang membiayai anggaran sendiri, melainkan harus melalui mekanisme APBN. Semua anggaran kementerian atau lembaga pemerintah diatur dalam APBN hingga bisa dikelola dengan baik.
“SKK Migas itu merupakan lembaga pemerintah hingga sudah semestinya anggaran yang digunakan melalui mekanisme APBN, namun akan berbeda apabila SKK Migas lembaga non pemerintah. Tapi, SKK Migas merupakan lembaga pemerintah dan harus menuruti aturan mekanisme APBN,” ungkap Margarito.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC) Arif Nur Alam membenarkan BPK kalau pendapatan non pajak harus melalui skema APBN, bukan malah dikelola SKK Migas seperti beberapa tahun silam. Pasalnya, kata Arif, tindakan SKK Migas itu jelas telah melanggar UU Keuangan Negara yang mennyatakan semua pendapatan negara yang dikelola sebuah instansi atau badan harus melalui mekanisme APBN.
Selain itu, lanjut dia, pendapatan non pajak seperti itu seringkali diselewengkan untuk hal-hal yang tidak penting. Apalagi seperti saat ini ketika menjelang pemilu, ia menghawatirkan kalau tidak melalui skema APBN pendapatan non pajak itu akan digunakan untuk kepentingan politik.
Dia juga sangat menyayangkan mengapa pemerintah terkesan membiarkan hal itu terjadi, karena sejak awal harusnya pemerintahan tegas menyatakan pendapatan itu harus dikelola negara melalui APBN. “Dan itu jadi tanggungjawab Menteri Keuangan, apakah berkomitmen dan berani untuk tidak lagi membiarkan hal itu,” kata Arif.