Pembiayaan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), yang kini menjadi Satuan Kerja Khusus Migas (SKK Migas), tak pernah menggunakan mekanisme APBN sejak 2002 hingga 2012. “Jika tak melalui APBN, berarti melangkahi parlemen,” kata anggota BPK, Hasan Bisri, seusai pemaparan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2012 di Gedung Parlemen kemarin.
Akibat dari pola pembiayaan yang tak menggunakan mekanisme APBN, kata Hasan, terdapat permasalahan dalam pemungutan pajak di SKK Migas. “Hak negara yang tidak terpungut dari pajak SKK Migas pada 2010 sebesar Rp 4 triliun, pada 2011 sebesar Rp 3,05 triliun, dan pada 2012 sebesar Rp 1,3 triliun.”
Hasan menilai, karena SKK Migas adalah lembaga negara, postur penerimaan dan belanjanya harus masuk APBN dulu. Jika semua instansi yang memperoleh pendapatan meminta sejumlah biaya operasional, kata dia, Direktorat Jenderal Pajak akan meminta porsi paling besar. “Terus, dari mana DPR, BPK, dan kementerian lainnya dapat anggaran?” kata Hasan mempertanyakan. Dia menambahkan, mekanisme pembiayaan langsung tanpa mekanisme APBN bukanlah cara bernegara yang baik.
BPK juga berharap pemerintah segera melaksanakan amendemen production sharing contract (PSC) terhadap kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang menggunakan Tax Treaty dalam penghitungan pajak penghasilan migas yang dibayarkan kepada negara. Jika hal tersebut dilakukan, BPK yakin langkah ini akan mencegah berkurangnya penerimaan negara dari bagi hasil migas dan PPh Migas.
Ketua BPK Hadi Poernomo mengatakan, selama ini pemerintah membiayai BP Migas dari penggunaan langsung penerimaan migas tanpa melalui mekanisme APBN. Tahun lalu, total penerimaan negara dari sektor hulu migas yang digunakan langsung SKK Migas tanpa melalui mekanisme APBN sebesar USS 34,93 miliar.
Menurut Hadi, penggunaan langsung pendapatan negara untuk membiayai kegiatan atau lembaga pemerintah tanpa mekanisme APBN bertentangan dengan Undang-Undang Keuangan Negara. “Khususnya Pasal 3 ayat 5.”
BPK, kata dia, berharap segera dilakukan amendemen PSC untuk mencegah berkurangnya penerimaan negara dari bagi hasil migas dan PPh Migas. Badan Pemeriksa juga mengusulkan agar pemerintah segera mengajukan undang-undang yang mengatur tentang fungsi dan tugas SKK Migas.
Kepala SKK Migas, Rudi Rubiandini, menyatakan mekanisme pembiayaan SKK Migas meneruskan prosedur yang dilakukan PT Pertamina (Persero) dengan mendapatkan retensi setara dengan 2 persen dari penerimaan migas untuk biaya pengelolaan. “Sejak BP Migas lahir di tahun 2001, retensi diturunkan menjadi satu persen saja,” ujarnya.
Kendati demikian, selama BP Migas bekerja, bahkan retensi dari penerimaan migas tidak sepenuhnya.”Yang terpakai seringnya hanya 0,6 sampai 0,8 persen,” kata Rudi.
Dia mengatakan, SKK Migas telah mengajukan dana kepada Kementerian Keuangan agar penganggarannya dibuat seperti kementerian dan lembaga lainnya. Adapun untuk tahun ini, hal itu belum bisa, dilakukan karena penganggaran sudah berjalan. Pembiayaan dari dalam dan luar APBN dinilai bukan masalah. “Selama semuanya dapat dipertanggungjawabkan dan yang keluar uang, bukan kertas,” kata Rudi.
Koran Tempo
0 komentar:
Posting Komentar